Tiga Budayawan Ini Menyoal Pemerintahan Jokowi, Ketiga Berbeda Pandangan

Dikabari | Jakarta – Gelaran Pidato kebudayaan bertajuk “Merawat Kewarasan dan Menumbuhkan Kesadaran Masyarakat Indonesia’ menghadirkan tiga nama, Ki Sujiwo Tejo, Dr. Mohamad Sobari dan Okky Madasari menjadi pembicara, di Balai Budaya, Menteng, Jakarta Pusat, 2 Februari 2024.

Diawali Sastrawan dan Sosiologi Okky Madasari tampil membacakan puisi merekam jejak sejarah kekuasaan bearoma intrik dan licik. Ia juga  mengkritisi kekuasaan Jokowi.

Ia juga mengutarakan ketika Soekarno kata revolusi menjadi mitos, dan di era Soeharto mitos dengan berhiaskan kata pembangunan.

Menurutnya kekuasaan sekarang ini pun melahirkan mitos mitos untuk melanggengkan kekuasaan.

Berlanjut Budayawan Ki Sujiwo Tejo tampil membawa terompet. Sebelum bicara dia meniupkan terompet, sehingga memberi warna gelaran Pidato Kebudayaan bertajuk Merawat Kewarasan dan Manumbuhkan Kesadaran Masyarakat Indonesia.

Pemikiran Sujiwo Tejo diutarakan dalam pidatonya melihat politik sekarang ini tidak seperti sebagian budayawan lainnya. Dia menyebut nama Butet Kartaredjasa, Eros Djarot yang kecewa, bahkan saking kecewanya budayawan Gunawan Mohamad perlu menangis di televisi.

Menurutnya mereka yang menangis itukan karena menganggap kekuasan Jokowi berbeda diawal dengan di masa akhir. “Saya dari 2014 biasa saja melihat kekuasaan Jokowi. Jadi, sekarang pun perasaan saya biasa saja,” ungkap Sujiwo Tejo.

Mantan wartawan yang kini menjadi aktor dan budayawan itu menganggap politik tangan besi mematikan nyali dan kekuasaan yang dinafikab mematikan nalar.

Kemudian Dr. Mohamad Sobary, kerap dipanggil Kang Sobari menyampaikan pikiran dan ceramahnya cukup dikenal dengan membawa pesan tentang kebudayaan sebagai sistem yang membawa pengaruh dalam berbagai aspek kehidupan.

Kang Sobari menegaskan seni tidak bisa dipisahkan dengan ilmu pengetahuan. “Karena seni adalah ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan adalah seni. Lirik lirik dalam seni puisi memberi pesan, tidak sekadar kesan. Ada dialektis di sana,” tandasnya.

Menurutnya seperti halnya dalam dialektis dalam perpolitikan Indonesia. Menurut Sobari jatuh bangun suatu kekuasaan itu di alami sepanjang sejarah Indonesia, jadi Soeharto runtuh menangis.

“Makanya kalau suasana politik sekarang seperti ini, ya itu dialektis, biasa saja. Kekuasaan itu memang ada kalanya jatuh dan bangun,” tandas Kang Sobari.

Ian mencontohkan banyak orang mengeluh dan merasa sedih ketika Soekarno jatuh dari kekuasaan. Begitu juga ketika kekuasaan Soeharto runtuh oleh air mata dan darah

Oleh karenanya Sobari  memberi kiasan, apa yang dirasakan oleh seseorang suasana politik sekarang ini. ya dirasakan oleh banyak orang juga.

“Kalau kekuasaan itu diumpakan matahari, ada satu orang merasakan panasnya matahari, jutaan orang juga merasakan panas yang sama,” ujar Budayawan bergelar doktor dari Monash University Australia itu.

Pada kesempatan itu, Amien Kamil. menyelingi Pidato Kebudayaan dengan pembacaan puisi. Bahkan Ketika Sujiwo Tedjo akan mengakhiri pidatonya, Amien Kamil diajaknya berduet membacakan cuplikan puisi karya WS Rendra:

Kesadaran adalah matahari, Kesabaran adalah bumi, Keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *